Training : Introduction To Recruitment Management

HOS – YOGYAKARTA CHAPTER BEKERJASAMA DENGAN FH UAJY
CONTINUING EDUCATION PROGRAM
CEP # 1 – 2012

One Day Workshop
“Introduction To Recruitment Management” (Basic Concept & Implementation)Tempat :
Kampus Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Jl. Mrican Baru 28, Yogyakarta – 55281 – Sabtu, 17 November 2012 (09.00 – sd selesai)

Agenda:
Session I
Recruitment Management Scope
Recruitment Goal & Its Process
Man Power Planning
Selection & Recruitment Method
Fulfillment & Outsourcing Strategy

Session II
Psychological Tools Selection
Recruitment Strategy
Interviewer Strategy
Interviewee Strategy
Tips & Trick in Recruitment

Metode Pembelajaran :
Pengajaran, diskusi, contoh implementasi dan sharing pengalaman
Bonus Istimewa di Jogjakarta : E-book & Doorprize

Tujuan Training

Peserta akan memahami dasar Recruitment Management
Peserta akan memahami cara melakukan Recruitment & Selection
Peserta berlatar belakang praktisi akan mendapatkan referensi baru/benchmark dari industri berbeda dengan memahami cara implementasi Recruitment Management di dalam perusahaan masing masing
Peserta berlatar belakang mahasiswa/i mendapatkan referensi baru mengenai Recruitment Management serta memahami cara untuk mempersiapkan diri dalam mengikuti Recruitment & Selection Process di kemudian hari

Fasilitator :

Bayu Victoria, CBC., CLDM., CPHRM – Hospitality HR Consultant/Ex. Director of Learning & Development, SwissBelhotel Golden Sand Resort & Spa, Vietnam

Haryo Seto, S.Psi, Owner & Senior Recruiter/Consultant di PT. Kedai Karir Indonesia berpengalaman menangani selection & recruitment di berbagai perusahaan ternama : HM Sampoerna, Bank Mega, Bank Panin, BRI Syariah, Mandiri Syariah dst.

PENDAFTARAN
Dayu Rifanto : 081222-967-475
Rizki Nuansa Hadyan : 08122-868-565
email : d_rifanto@yahoo.com atau qq_nuansa@yahoo.com

BIAYA : Rp 100.000,- (Seratus Ribu rupiah)
Transfer ke :
Bank Mandiri a/n Dayu Rifanto No Rek. 102-000-49-777-88
Bank BCA a/n Rizki Nuansa Hadyan No Rek. 249-0225-229

NB : yang kami masukkan dalam list peserta adalah yang sudah melunasi biayanya
Harap bukti pembayaran disimpan dan dibawa pada hari pelaksanaan yang Istimewa untuk ditukarkan dg kwitansi. Terimakasih

 

Lalu, sekolah buat apa ?

Lalu, sekolah buat apa ?

Ada tunanetra, yang ikut ujian nasional tidak dibekali dengan soal berhuruf braile, bayangkan betapa menyedihkannya ?. Bagai sudah jatuh tertimpa tangga, mungkin kalau aku yang jadi peserta-nya sudah kupisuhi pengawasnya disitu “jancuk”. Belum lagi menurut koran Kedaulatan Rakyat itu, ada salah satu Universitas Negeri di Yogyakarta tidak menggunakan nilai ujian nasional (UN) dalam seleksi masuk mahasiswa baru, tetapi menggunakan tes. Sebab katanya ada daerah dimana nilai UN tinggi tetapi kredibilitasnya rendah (contek, pembocoran soal dst), dan ada yang nilainya rendah tetapi kredibilitas tinggi, jadi untuk itu diperlukan tes kembali.

Seru lagi, ada dosen yang sekaligus pesohor terkenal Rhenald Kasali yang bilang dalam artikelnya soal pendidikan (sekolah) “beberapa hari ini kita membaca berita betapa sulitnya anak-anak kita mencari sekolah. Masuk universitas pilihan, susahnya setengah mati. Kalaupun diterima, bak lolos dari lubang jarum. Sudah masuk, ternyata banyak yang “salah kamar”.  Sudah sering saya mengajak dialog mahasiswa yang bermasalah dalam perkuliahan yang begitu digali selalu mengatakan mereka masuk jurusan yang salah”.

Aku jadi pening membayangkan kemungkinan dari membaca artikel tadi pagi itu, kebayang ujian susah belum tentu lulus, kalaupun lulus mau masuk universitas pilihan susahnya minta ampun, karena harus dites, dan belum tentu universitas rujukan merujuk nilai ujian yang sudah susah tidak tidur berhari-hari akibat sistem belajar kebut semalam, lalu kalau sudah masuk universitas pilihan eh banyak yang salah jurusan. Plakk, nampar wajah sendiri biar tidak ngelindur berlebihan, yang tentu saja tidak baik bagi kesehatan jiwa. Oleh karena itu, untuk menghargai pendapat teman – teman yang mungkin membaca artikel ini, saya lengkapi dengan tulisan Rhenald Kasali yang dimuat di Koran Sindo, dan mungkin mencerahkan bagi Anda sekalian yang belum pernah membacanya.

Selamat membaca
@dayurifanto

______________________________________________________________                       SEKOLAH UNTUK APA?

Beberapa hari ini kita membaca berita betapa sulitnya anak-anak kita mencari sekolah.   Masuk universitas pilihan, susahnya setengah mati.   Kalaupun diterima, bak lolos dari lubang jarum.  Sudah masuk, ternyata banyak yang “salah kamar”.  Sudah sering saya mengajak dialog mahasiswa yang bermasalah dalam perkuliahan yang begitu digali selalu mengatakan mereka masuk jurusan yang salah.

Demikianlah, diterima di PTN masalah, tidak diterima juga masalah.  Kalau ada uang bisa kuliah di mana saja.  Bagaimana kalau uang tak ada?  Hampir semua orang ingin menjadi sarjana, bahkan masuk program S2.  Jadi birokrat atau jendral pun, sekarang banyak yang ingin punya gelar S3. Persoalan seperti itu saya hadapi waktu lulus SMA tiga puluh tahun yang lalu, dan ternyata masih menjadi masalah hari ini.  Bahkan sekarang, memilih SMP dan SMA pun sama sulitnya.

Mengapa hanya soal memindahkan anak karena pindah rumah ke sekolah negeri lain saja biayanya begitu besar?  Padahal bangku sekolah masih banyak yang kosong.  Masuk sekolah susah, pindah juga sulit, diterima di perguruan tinggi untung-untungan, cari kerja susahnya minta ampun.  Lengkap sudah masalah kita.

Kalau kita sepakat sekolah adalah jembatan untuk mengangkat kesejahteraan dan daya saing bangsa, mengapa dibuat sulit?  Lantas apa yang harus dilakukan orang tua?  Jadi sekolah untuk apa di negeri yang serba sulit ini?

Kesadaran Membangun SDM

Lebih dari 25 tahun yang lalu, saat berkuasa, PM Malaysia Mahathir Mohammad sadar betul pentingnya pembangunan SDM. Ia pun mengirim puluhan ribu sarjana mengambil gelar S2 dan S3 ke berbagai negara maju.  hal serupa juga dilakukan China. Tidak sampai sepuluh tahun, lulusan terbaik itu sudah siap mengisi perekonomian negara. Hasilnya anda bisa lihat sekarang. BUMN di negara itu dipimpin orang-orang hebat, demikian pula perusahaan swasta dan birokrasinya.

Perubahan bukan hanya sampai di situ. Orang-orang muda yang kembali ke negerinya secara masif me-reform sistem pendidikan. Tradisi lama yang terlalu kognitif dibongkar. Old ways teaching yang terlalu berpusat pada guru dan papan tulis, serta peran brain memory (hafalan dan rumus) yang dominan mulai ditinggalkan.  Mereka membongkar kurikulum, memperbaiki metode pengajaran, dan seterusnya. Tak mengherankan kalau sekolah-sekolah di berbagai belahan dunia pun mulai berubah.

Di negeri Belanda saya sempat terbengong-bengong menyaksikan bagaimana universitas seterkenal Erasmus begitu mudah menerima mahasiswa.  “Semua warga negara punya hak untuk mendapat pendidikan yang layak, jadi mereka yang mendaftar harus kami terima,” ujar seorang dekan di Erasmus.  Beda benar dengan universitas negeri kita yang diberi privilege untuk mencari dan mendapatkan lulusan SLTA yang terbaik. Seleksinya sangat ketat.

Lantas bagaimana membangun bangsa dari lulusan yang asal masuk ini?  “Mudah saja,” ujar dekan itu.  “Kita potong di tahun kedua.  Masuk tahun kedua, angka drop out tinggi sekali.  Di sinilah kita baru bicara kualitas,  sebab walaupun semua orang bicara hak, soal kemampuan dan minat bisa membuat masa depan berbeda,”ujarnya.

Hal senada juga saya saksikan hari-hari ini di New Zealand.  Meski murid-murid yang kuliah sudah dipersiapkan sejak di tingkat SLTA, angka drop out mahasiswa tahun pertama cukup tinggi.  Mereka pindah ke politeknik yang hanya butuh satu tahun kuliah.

Yang lebih mengejutkan saya adalah saat memindahkan anak  bersekolah di tingkat SLTA di New Zealand.  Sekolah yang kami tuju tentu saja sekolah yang terbaik, masuk dalam sepuluh besar nasional dengan fasilitas dan guru yang baik.  Saya menghabiskan waktu beberapa hari untuk mewancarai lulusan sekolah itu masing-masing, ikut tour keliling sekolah, menanyakan kurikulum dan mengintip bagaimana pelajaran diajarkan.  Di luar dugaan saya, pindah sekolah ke sini pun ternyata begitu mudah.

Sudah lama saya gelisah dengan metode pembelajaran di sekolah-sekolah kita yang terlalu kognitif, dengan guru-guru yang merasa hebat kalau muridnya bisa dapat nilai rata-rata diatas 80 (betapapun stressnya mereka)  dan sebaliknya memandang rendah terhadap murid aktif namun tak menguasai semua subjek.  Potensi anak hanya dilihat dari nilai,  yang merupakan cerminan kemampuan mengkopi isi buku dan cacatan. Entah dimana keguruan itu muncul kalau sekolah tak mengajarkan critical thinking.  Kita mengkritik lulusan yang biasa membebek, tapi tak berhenti menciptakan bebek-bebek dogmatik.

Kalau lulusannya mudah diterima di sekolah yang baik di luar negri, mungkin guru-guru kita akan menganggap sekolahnya begitu bagus.  Mohon maaf, ternyata tidak demikian.  Jangankan dibaca, diminta transkrip nilainya pun tidak.  Maka jangan heran, anak dari daerah terpencil pun di Indonesia, bisa dengan mudah diterima di sekolah yang baik di luar negeri. Bahkan tanpa tes.  Apa yang membuat demikian? “undang-undang menjamin semua orang punya hak yang sama untuk belajar,” ujar seorang guru di New Zealand.

Lantas, bukankah kualitas lulusan ditentukan inputnya?  “itu ada benarnya, tapi bukan segala-galanya,” ujar putera sulung saya yang kuliah di Auckland University tahun ketiga.  Maksudnya, test masuk tetap ada, tetapi hanya dipakai untuk penempatan dan kualifikasi.

Di tingkat SLTA, mereka hanya diwajibkan mengambil dua mata pelajaran wajib (compulsory) yaitu matematika dan bahasa Inggris.  Pada dua mata pelajaran ini pun mereka punya tiga kategori: akselerasi, rata-rata, dan yang masih butuh bimbingan. Sekolah dilarang hanya menerima anak-anak bernilai akademik tinggi karena dapat menimbulkan guncangan karakter pada masa depan anak, khususnya sifat-sifat superioritas, arogansi, dan kurang empati. Mereka hanya super dikedua kelas itu, di kelas lain mereka berbaur. Dan belum tentu superior di kelas lain karena pengajaran tidak hanya diberikan secara kognitif semata.

Selebihnya, hanya ada empat mata pelajaran pilihan lain yang disesuaikan dengan tujuan masa depan masing-masing. Bagi mereka yang bercita-cita menjadi dokter maka biologi dan ilmu kimia wajib dikuasai. Bagi yang akan menjadi insinyur wajib menguasai fisika dan kimia. Sedangkan bagi yang ingin menjadi ekonom wajib mendalami accounting, statistik dan ekonomi. Anak-anak yang ingin menjadi ekonom tak perlu belajar biologi dan fisika. Beda benar dengan anak-anak kita yang harus mengambil 16 mata pelajaran di tingkat SLTA di sini, dan semuanya diwajibkan lulus di atas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).

Bayangkan, bukankah cita-cita pembuat kurikulum itu orangnya hebat sekali?  Mungkin dia manusia super. Seorang lulusan SLTA, tahun pertama harus menguasai 4 bidang science (biologi, ilmu kimia, fisika dan Matematika), lalu tiga bahasa (Bahasa Indonesia, Inggris dan satu bahasa lain), ditambah PPKN, sejarah, sosiologi, ekonomi, agama, geografi, kesenian, olahraga dan komputer. Hebat sekali bukan? Tidak mengherankan kalau sekolah menjadi sangat menakutkan,stressful, banyak korban kesurupan, terbiasa mencontek, dan sebagainya. Harus diakui kurikulum SLTA kita sangat berat. Sama seperti kurikulum program S1 dua puluh tahun yang lalu yang sejajar dengan program S1 yang digabung hingga S3 di Amerika. Setelah direformasi, kini anak-anak kita bisa lulus sarjana tiga tahun. Padahal dulu butuh lima tahun.   Dulu program doktor menyelesaikan di atas 100 SKS, makanya hampir tak ada yang lulus.  Kini seseorang bisa lulus doktor dalam tiga tahun.

Anda bisa saja mengatakan, dulu kita juga demikian tapi tak ada masalah kok! Di mana masalahnya?  Masalahnya, saat ini banyak hal telah berubah.  Teknologi telah merubah banyak hal, anak-anak kita dikepung informasi yang lebih bersifat pendalaman dan banyak pilihan, namun datang dengan lebih menyenangkan.  Belajar bukan hanya dari guru, tapi dari segala resources. Ilmu belajar menjari lebih penting dari apa yang dipelajari itu sendiri, karena itu diperlukan lebih dari seorang pengajar, yaitu pendidik.  Guru tak bisa lagi memberikan semua isi buku untuk dihafalkan, tetapi guru dituntut memberikan bagaimana hidup tanpa guru, Lifelong learning.

Saya saksikan metode belajar telah jauh berubah.  Seorang guru di West Lake Boys School di Auckland mengatakan, “Kami sudah meninggalkan old ways teaching sejak sepuluh tahun yang lalu.  Makanya sekolah sekarang harus memberikan lebih banyak pilihan daripada paksaan. Percuma memberi banyak pengetahuan kalau tak bisa dikunyah.  Guru kami ubah, metode diperbaharui, fasilitas baru dibangun,” ujar seorang guru.

Masih banyak yang ingin saya diskusikan, namun sampai di sini ada baiknya kita berefleksi sejenak. Untuk apa kita menciptakan sekolah, dan untuk apa kita bersekolah? Mudah-mudahan kita bisa mendiskusikan lebih dalam minggu depan dan semoga anak-anak kita mendapatkan masa depannya yang lebih baik.

Rhenald Kasali

Ketua Program MMU