When Andrew Refuses to Back Down

When Andrew Refuses to Back Down

We're All Stories, In the End

Andrew Budikusuma (24 y.o.) will probably never expected to get punch in the face and got 5 five days to recover the injuries. But Andrew is very aware that the attack that he experienced in TransJakarta is clearly not ordinary criminal acts. He strongly remembers that the attacker said, “Which do you prefer? Slanty eyes or closed eyes?” and “Ahok, Ahok, you’re Ahok, right?”

In other words, Andrew got verbal discrimination and physical abuse at the same time – which is suspected strongly linked to his ethnicity. Andrew then write a chronological experience and show his broken lips on his Facebook page. Shortly after, it went viral in all social media and Andrew decided to report the incident to the police. Andrew undaunted despite his parents advised him not to report. He refuses to back down1 September, the police arrest five suspects and the process is still…

View original post 893 more words

Pada akhirnya semua kembali kepada kerja keras

Nowela Elisabeth Auparay, atau lebih dikenal dengan Nowela Idol merupakan satu dari sedikit perempuan Papua yang mendapat panggung di dunia musik dan entertainment di Indonesia.

Pada bulan April 2016 lalu, saya berkesempatan bertemu dan sekaligus mewawancarai Nowela yang juga biasa dipanggil Lia, di Jakarta, seputar kegiatan dan kesibukannya sebagai penyanyi dan pandangannya terhadap hal yang menarik hatinya di Papua , yaitu Pendidikan.

Kami janjian di wisma keiai, di bilangan Sudirman, sebelah gedung Muamalat. Tepat persis di depan halte busway dukuh atas yang menjadi titik sambung berbagai tujuan bagi pengguna busway. Saya mengambil bis mayasari bakti cikarang blok m, syukur jalanan lengang siang itu, hingga tak berapa lama kemudian tertidur sejenak sudah sampai saja di komdak, turun di halte depan Polri segera saya sambung naik busway. Cepat saja sudah sampai di halte dukuh atas.

Pertemuan ini mau membicarakan kemungkinan kerjasama kami dalam bidang literasi, tetapi sekaligus saya penasaran sekali bagaimana perjalanan dirinya bisa sampai seperti sekarang yang sayang dilewatkan.

Bertemu dengan Nowela, saya ditemani oleh Lisa Duwiry, tak berapa lama kami naik ke kantor Universal, datang Nowela “halo kak lisa, apakabar” oh Lia, ini kak Dayu. lalu sayapun berkenalan singkat. Obrolan menjadi hangat karena kami sama – sama lahir besar di Papua, jadi begitu sudah kata orang Papua, yang artinya ada banyak cerita tentang pengalaman masa kecil, keseruan yang kami ceritakan. Ah sedap.

Obrolan – obrolan itu mendekatkan kami sehingga akhirnya setelah selesai meeting dengan pihak Universal, sa bilang “Lia, kak wawancara lia ya tentang pengalmaan Lia dan mengapa sa lihat suka sekali dengan volunterisme. Ia pun menyetujuinya sehingga kami ambil tempat di cafe kecil di ruang meeting, duduk bersebelahan, kasih keluar recorder dan mulailah pertanyaan demi pertanyaan mengalir.

Sa panggil Lia ya, lahir besar dimana Lia ?

Lahir di Wamena dan sekolah di sana sampai kelas 4 SD, karena setelah itu Bapak mendapat beasiswa kuliah di S1 Teologia di UKSW Salatiga, membuat kami sekeluarga pindah dan saya melanjutkan sekolah dari SD sampai SMP di Salatiga.

Setelah Bapak lulus kuliah, beliau mendapat penugasan di Merauke sehingga kami sekeluarga pindah ke sana. Saat di Merauke itulah, ada sebuah program dari Departemen Pendidikan yang akan menseleksi siswa-siswi terbaik untuk di sekolahkan di SMA di berbagai kota di Jawa, dan saya terpilih mewakili Merauke masuk dalam 72 siswa – siswi terbaik yang berprestasi di SMP asal Papua.

Kota studi saya di Sidoarjo, saya masuk SMA Negeri 1 Sidoarjo, dan di sana saya hidup sendiri. Rasanya saat hidup sendiri inilah yang membuat karakter saya terbangun, harus bisa berjuang, harus mandiri. Selepas SMA saya memutuskan kuliah di Universitas Airlangga, di Surabaya dengan jurusan Hubungan Internasional, walau awalnya orang tua ingin saya ambil jurusan kedokteran.

Dari dapat beasiswa untuk sekolah lalu berlabuh suka musik dan menjadi penyanyi, sejak kapan Lia menyukai hal tersebut ?

Menurut cerita Mama, saat saya masih kecil (mungkin belum sekolah di Taman Kanak – kanak), kalau ada paduan suara gereja, sa sudah ikut tampil. Karena belum bisa bicara, saya ikut dan tersenyum saja, yang penting ikut dan tampil. Dari sini bermula, lalu mulai aktif menyanyi di gereja, terus punya vokal grup dengan adik – adik.

Saya ingat waktu kecil kalau diajak mama : Lia nanti pas Natal, ko menyanyi ya ? lalu sa bilang oke. Paskah menyanyi ya ? oke. Ini menyanyi, itu menyanyi, dan sa selalu bilang oke dan oke. Akhirnya terbiasa dan saya tidak pernah takut jika disuruh tampil.

Di Wamena sa pernah menjadi penyiar cilik di RRI. Ada sebuah program lalu kita penyiarnya yang bercerita membawakan acara itu, “habis ini ada lagu ini selanjutnya atau kita baca puisi. Karena saya anak yang suka tampil, jadi disuruh apa saja saya mau. Mama bilang : Lia, kalau ko di Radio nanti semua orang dengar ko punya suara. Sa langsung jawab Oh iya – iya sa mau. Begitu. Jadi memang suka tampil, “Lia nanti ko ikut drama ini e nanti ko jadi malaikat, iya – iya mau”.

Puncak dari keputusan untuk jadi penyanyi itu waktu masih kuliah di surabaya. Saat saya lulus SMA orang tua maunya saya memilih fakultas kedokteran tapi saya tidak mau sebab tidak suka.

Ini salah satu kesalahan yang akhirnya saya dan orang tua akui (harus mengikuti dan memahami bakat dan potensi anak). Karena sejak awal sekolah saya sudah bermain musik dengan punya band, jadi kalau kuliah di Jakarta saya tidak bisa bertemu lagi teman – teman band ini. Memilih kuliah di surabaya agar tetap bisa bertemu teman – teman Band dan bermain musik.

Akhirnya pilihan jatuh dengan ambil HI, walau tidak terlalu suka. Masuk kuliah dan mempelajarinya semakin tidak suka akhirnya jadi tambah malas kuliah, karena memang visi awal mau kuliah di surabaya supaya bisa menyanyi, bukan kuliah.

Jadi ini kesalahan (dalam bidang studi) kecuali saya kuliah lanjutnya adalah musik juga yang saya suka.Tapi karena ini mengikuti keinginan orang tua jadi ya sudah. Memang akhirnya sa putuskan untuk stop, apalagi sudah sejak semester 3 sudah sibuk menyanyi dan puncaknya semester 5 saya DO.

Karena salah satu sudah dihentikan maka saya harus fokus pada menyanyi. Putus sekolah ini memang berat sekali dan itu kekecewaannya ada di keluarga besar. Orang tua hampir dua tahun tidak mau berbicara dengan saya, bahkan mungkin dianggap sudah bukan anak lagi karena saya putus kuliah dan mengecewakan mereka hanya untuk menyanyi dan bermain musik.

Keputusan yang berat sampai Lia membuat orang tua sedih dan tentu tidak mudah menghadapinya. Kenapa ingin sekali berkarir sebagai penyanyi, memilih jalan hidup sebagai penyanyi ?

Kenapa ya..hmm, sa rasa “Ada satu moment dalam hidup dimana saya merasa tempat saya terbaik itu ada diatas panggung, dibawah lampu sorot”. Sampai jika ditanya Nowela sepuluh tahun lagi ko akan jadi apa, sa akan tetap bilang seperti diatas.

Karena saya sangat yakin bahwa tempat saya itu dipanggung. Akhirnya waktu juga yang membuat cerita dengan keluarga berlanjut menjadi lebih baik, dua tahun berjalan tapi setelah itu kami berkomunikasi kembali. Selepas dua tahun masa diam – diam, saya akhirnya sudah punya penghasilan dari menyanyi dan sudah lumayan saat 2010.

Awal menyanyi dimulai dari cafe ke cafe di surabaya, tapi karena saya ingin meningkatkan diri terus, makanya saya dan band membuat Long Trip ke berbagai kota di Indonesia, berkeliling menyanyi dari cafe ke cafe. Dua bulan tampil di bali, dua bulan di Menado, dua bulan di Medan, berkeliling terus. Karena saya suka travelling dan suka menyanyi jadi ini seperti hobby yang dibayar.

Memang saya bekerja dengan hobby yang dibayar ini sudah sejak lama, sebelum Idol saya sudah menyanyi di Cafe selama 7 tahun dengan 6 hari kerja, dan waktu menyanyi 4 Jam sehari. Apalagi cafe buka malam biasanya saya menyanyi dari jam 22.00 sampai dengan jam 02.00 dini hari. Dari rentang waktu itu, ada 25 sampai 30 lagu setiap malam yang harus dinyanyikan. 7 tahun bernyanyi, 6 hari kerja, 4-5 jam sehari dengan menyanyi puluhan lagu malam sampai dini hari.

Pengalaman belajar dan menyanyi di cafe membuat saya memutuskan tidak mau selamanya berkarir di Cafe, jadi saya harus meningkatkan diri. Apalagi ritme kerja tersebut membuat saya pernah insomnia parah. Jadi keinginan untuk meningkatkan diri, bisa hidup normal berdasar jam biologis tubuh juga mendorong saya untuk mencoba hal baru dan belajar terus.

Sebenarnya kalau dibilang cukup, saat itu sudah cukup dari sisi penghasilan sudah lumayan tapi sa pikir mau sampai kapan begini terus dan juga saya percaya bahwa memang sa ada bakat yang sa yakini. Karena harus naik kelas, maka saya mencoba ikut kompetisi, salah satunya Indonesia Idol.

Saudara – saudara saya mendorong agar ikut kompetisi, salah satu yang paling vokal itu Vanessa Aronggear. Mereka berperan penting karena ikut memaksa hahaha, sa ingat dorang bilang : “Ka lia, kalau ka lia tidak mau ikut idol, kita yang akan ambil formulir dan mendaftarkan”. Karena mereka yakin kalau suara saya bagus dan mengapa tidak coba ikut audisi.

Sebenarnya, dulu saya sudah pernah ikut idol tapi gagal di tahapan seleksi awal. Sebelum audisi dengan juri itu ada banyak sekali tahapan yang harus dilewati, kita audisi depan juri lokal, lalu di depan penyelenggara, audisi video dikirim ke produser untuk dilihat dahulu, itu baru ke juri tamu baru nanti ke juri utama.

Saat Idol 1 pada tahun 2004 dan idol 3 itu saya gagal. Jadi kalau orang bilang pertama kalinya ditemukan di purwokerto, karena memang di dua audisi itu tidak pernah terekam wajah saya, sehingga juri tidak tahu.

Sudah gagal dua kali dan terus mencoba? tidak mudah juga rasanya. Apa pengalaman yang mau dibagi saat ikut kompetisi?

Percaya pada diri, ini hal paling penting.

Kompetisi mengajarkan saya bahwa ini bukan soal seberapa bagus kita menyanyi atau seberapa tinggi teknik yang digunakan saat menyanyi tapi seberapa kuat mental untuk jadi juara. Ada beragam alasan membuat orang gagal di kompetisi, mulai dari merasa tidak betah, dan ingin pulang ke rumah (karena karantina berbulan – bulan), bermasalah dengan pacar, atau juga sakit yang membuat ingin pulang atau dirawat.

Jadi masalah non teknis sifatnya atau diluar menyanyi. Mental pemenang penting sekali, dan selalu fokus pada tujuan.

Karena kalau hanya soal suara, wah banyak sekali yang bagus. Saat audisi kami pasti sibuk dengan kegiatan dan kami tidur 3-4 jam setiap hari. Dan karena karantina 4 bulan. Di isi dengan berbagai latihan, mulai latihan band, vocal, latihan bersama, koreografi dan yang lainnya bahkan bisa sampai dini hari latihan berlangsung dan besok pagi kita sudah harus berkegiatan lagi.

Apalagi saat sudah masuk 10 besar, kita akan workshop satu demi satu maksudnya sehabis latihan, vocal director akan mencatat kekurangan kita apa saja dan setelah itu kita akan diberi feed back, setelah itu harus latihan bersama kontestan lain belum lagi harus selalu siap tampil di depan media. Jadi kekuatan fokus sangat penting.

Lalu apa yang menjadi kekuatan Lia menurut para juri kompetisi itu?

Kalau menurut mereka ada di karakter diri yang kuat. Puji Tuhan. Mereka bilang saya seperti paket lengkap : Punya suara dan sikap yang bagus, dan wajah menarik. Sa ingat saat kompetisi saya berusaha fokus, tenang pada tujuan dan dengan itu saya bisa rileks. Sehingga saat kompetisi dan seleksi ada saja peserta lain yang penasaran dengan suara dan performance saya karena saat itu saya memilih lebih banyak diam, tenang dan berusaha fokus pada tujuan terutama tampil baik dihadapan para juri.

Kata juri lagi, kalau dari segi suara karakternya kuat sebab jika saya bersuara atau menyanyi, orang yang tidak melihat penyanyinya pasti tahu itu suara saya, selain saat itu tidak ada kontestan perempuan Papua yang bertahan sampai 15 besar. Jadi waktu itu saya sangat unik ada kombinasi Papua dan Batak.

Bagaimana respon orang tua setelah mengetahui Lia mengikuti Idol?

Saat saya masuk TV baru orang tua tahu dan sa beri tahu saat itu karena butuh kartu keluarga. Kenapa baru kasih tahu juga dengan pertimbangan dulu (berhenti kuliah) sudah mengecewakan keluarga sehingga harapannya jangan mengecewakan kedua kali. Jadi mereka tahu saat saya sudah masuk babak 100 besar. Jadinya seperti moment pembuktian dan pembukaan mata “oh ternyata sa punya anak ini bisa menyanyi sebaik ini”.

Setelah masuk 100 besar dan diliput TV baru kasih tahu orang tua ya. Banyak sekali saingan Lia ya, memangnya berapa banyak yang daftar kompetisi itu?

Saat itu yang daftar kurang lebih 250 ribu orang, dan faktanya mungkin lebih. Masuk ke kompetisi ini jadi tempat pembuktian buat pilihan hidup saya. Kemenangan itu membawa pesan pelajaran bagi kami, saya dan orang tua bahwa “Kita sebagai orang tua, harusnya yang kita lakukan adalah mensupport kemauan sang anak, bukan memaksa keinginan kita ke anak” ini ucapan orang tua saya saat juga diliput media, jadi anak dan orang tua harus saling dukung.

Coba bayangkan saja, jika anaknya tahan banting dan bisa menemukan jalan hidupnya, maka ini akan berujung baik. Tapi kalau sang anak tidak mampu tahan banting, wah bisa selesai itu, hubungan hubungan keduanya akan hancur.

Kalau diingat masa dua tahun saya tidak berhubungan dengan keluarga karena memutuskan menjalani pilihan hidup saya itu, sedih juga. Tapi saya harus setia menyanyi dan menghidupkan impian terus. Sa pernah tidak menyanyi selama sebulan, itu rasanya seperti orang kehilangan arah.

Hmm, apa yang menjadi pelajaran paling penting menurut Nowela setelah mengalami pengalaman memilih menyanyi, memilih ikut kompetisi?

Kalau mau sesuatu itu harus dengan kerja keras, dan itu tidak mudah. “yang orang lihat kan 4 bulan saya di ekspose di media, mereka tidak tahu 7 tahun sebelumnya saya jatuh bangun air mata naik turun seperti apa” sampai akhirnya saya bisa seperti ini.

Jadi menurut saya, dan juga beberapa teman – teman bahwa mengikuti kompetisi itu juga bukan cara instan menjadi penyanyi. Orang yang baru menyanyi sangat jarang ikut kompetisi, biasanya yang sudah banyak pengalaman dan tidak berputus asa yang ikut.

Semuanya sudah berjuang dulu baru ikut kompetisi dan itu yang orang tidak tahu

Orang lihat hanya saat di puncak saja ya, baik baik. Oh iya saya ingat sering melihat postingan jika Lia ke rumah baca atau donasi buku, kenapa peduli pada bidang pendidikan?

Mungkin karena pengalaman juga. Maksudnya awalnya saat saya di wamena dan Bapak sering mendapat tugas di pedalaman.

Misal ke Apalapsili saya pun ikut. Suatu kali Bapak ditugaskan selama sebulan di daerah dan ini membuat saya pindah sekolah selama satu bulan di pedalaman Apalapsili. Saya pun bersekolah disana dan sekolahnya beratap jerami dan laintainya tanah. Dan siswanya digabung di satu kelas, mau dia kelas 1 sampai 6 semua gabung satu kelas.

Saat ke sekolah, saya baru sadar dan sedih, karena saya yang paling lengkap seragam sekolah, tas, sepatu. Teman lainnya tidak. Ingatan ini kuat sekali menempel di kepala saya. Saya lalu membandingkan kondisi sekolah, siswa dan sekali lagi ingatan ini selalu terbawa sampai dengan sekarang.

Saat masih menyanyi di cafe saya sudah mengenal kegiatan peduli seperti Bukuntukpapua melalui Vanesa dan Lisa Duwiry, juga kegiatan lainnya. Dari sini saya mulai berdonasi sedikit demi sedikit. Apa yang sa bisa bantu saya berusaha bantu, karena ingatan dan pengalaman itu membawa kesadaran baru buat saya.

Terimakasih banyak, kami juga merasa terbantu oleh Nowela. Peduli pendidikan dan bantu dengan buku, memangnya apa buku – buku yang nowela suka baca?

Di Salatiga banyak persewaan buku, dengan harga sewa buku 150 Rupiah. Karena dasarnya suka jadi kalau lihat persewaan buku itu seperti lihat mall mewah yang sa mau datang belanja.

Dan orang tua memang sangat fokus ke pendidikan, jadi mendukung selalu. Sa ingat saat libur baru sa dengan adik – adik kita bawa satu kantong plastik besar jalan kaki mungkin sekitar 3-4 kilo ke rumah persewaan buku ini, lalu pulangnya kita bawa kantong besar berisi buku untuk dibaca selama liburan.

Jadi disini awal mula kecintaan terhadap buku mulai dari komik, salah satunya detektif konan. Semakin besar baru mulai menyukai novel. Selama di salatiga suka sekali dengan cerita detektif conan

Mengapa suka sekali dengan cerita detektif?

Karena dia tidak memanjakan kita untuk tahu ceritanya langsung, dia membuat kita berpikir terus. Sembari membaca kita terus berpikir. Ini siapa ya, tokoh mana lagi, yang mencurigakan tadi siapa ya ds.

Jadi rata-rata pada awalnya saya suka membaca komik – komik misteri. Semakin dewasa baru menyukai novel, Mira W misalnya. Agak klasik, sampai sekarang pun kalau ada buku baru saya cari terus karangan Mira W. Saya suka caranya bercerita dengan ending cerita yang kita tidak bisa duga. Gaya berceritanya saya sukai. Film juga menyukai yang misteri.

Adik – adik saya jadi juga suka membaca.

Jadi membaca itu selain menyenangkan juga penting sebab karena baca juga membantu berimajinasi.

Dalam konteks Papua kita tahu ada daerah yang yang masih kesulitan listrik, di daerah terpencil dan bisa jadi buku membuka imajinasi serta pengetahuan tentang banyak hal dan membuat pemikiran menjadi terbuka. Membaca bisa merubah (pandangan) kehidupan. Dengan begitu membaca memuat kita belajar terus.

Baik jadi penting sekali ya, sa jadi ingin bertanya ini Nowela tentu tidak mudah harus bersaing di Jakarta, apa yang yang harus Nowela lakukan?

Mental pejuang, tidak mau puas dengan tingkat kehidupan yang ini saja. Misalnya dengan pencapaian saya ini, saya pun masih punya keinginan untuk lebih baik lagi. Impiannya misalnya bagaimana sebagai penyanyi saya bisa menyanyi di luar negeri bersama band saya sendiri. Selain itu saya punya wadah untuk bisa berkontribusi bagi Papua, jadi ini menjadi target ke depan.

Contohnya membuat sekolah musik di Papua, supaya anak-anak berbakat musik bisa saya bimbing semenjak kecil dan didorong berkembang maju.

Ini dua impian besar saya, mumpung mimpi gratis.

Wah terimakasih sekali sudah mau bercerita ke saya tentang kisah Lia, saya jadi ingat terus pesannya nih: “Jangan pernah berhenti bermimpi, jangan pernah puas, perubahan didapat dengan kerja keras.”

Terimakasih banyak Lia. Sama- sama kak, semoga bermanfaat. (Dayu Rifanto)