Kisah Aibobor dan muasal nama sungai, kali serta danau di Sorong Selatan.

Sorsel

Sekolah menjadikan kita melek huruf, tetapi tidak mengajarkan kita bagaimana membaca untuk kesenangan – Ambeth R Ocampo.

Eh Ko sorong (geser) sedikit, biar sa bisa duduk mengingat ucapan kawan-kawan kecil waktu kami bermain dulu, ingatan masa lampau membekas kembali tentang sorong dan geser. Bermain – main dengan ingatan membuat saya terpaku pada sebuah buku tentang Sorong, tepatnya Sorong Selatan. Kabupaten hasil pemekaran ini beribukota di Teminabuan, dan distrik – distrik tepatnya 11 distrik antara lain Aifat (yang dibagi menjadi 4 distrik), Aitinyo (3 distrik), ayamaru (3 distrik) serta Mare1

Buku kumpulan cerita rakyat sorong selatan ini merupakan hasil karya dari pengumpulan cerita dari para tetua adat atau kampung, yang dilakukan para guru – guru yang kuliah di Universitas Atma Jaya dalam program pendidikan jarak jauh S1 PGSD di Kabupaten Sorong Selatan. Selama proses pembelajaran dan pendidikan, dirasa perlunya semangat  pendidikan yang berbasis konteks budaya setempat, agar guru menjadi mudah mengerti dan mampu memaknai proses belajar dengan melibatkan siswa secara utuh, karena konteks budaya menghadirkan pemenuhan ruang eksistensi kedalam diri guru yang sedang belajar. Di bagian belakang buku cerita ini tertulis nama – nama para guru – guru yang bersekolah tersebut, dipadu dengan ornamen bercorak  cenderawasih.

Buku tipis nan padat cerita. Mengapa demikian ? sebab hanya berisi 89 halaman tetapi padat berisikan 16 kisah cerita rakyat dengan tema besar atau dengan dominasi cerita tentang air : berupa kisah telaga, kali, sungai sampai ke danau. Betapa air menjadi fondasi penting kehidupan masa lampau, kini dan masa depan.

Aibobor, membuka kisah dari buku ini, menceritakan seekor anjing bernama Aibobor yang patuh pada tuannya, sang tuan yang dalam perjalanannya menyusuri Sungai Kaibus (atau Konda) mengalami banyak kejadian ajaib seperti bekal makanannya yang berupa daun sagu berubah menjadi pepohonan sagu yang rindang dalam semalam, dan lokasi dimana pohon sagu berada dinamakan Badit Roni.  Dalam perjalanannya ada daerah yang disinggahi sang tuan ini dan dinamakannya Seforare, saat lapar menjelang dalam perburuannya membuat sang tuan bertemu dengan seorang gadis yang terkena busur panahnya, yang dengan marah sang perempuan menunjuk ulu hatinya seraya berkata lihat panahmu mengenai hatiku !, dengan tangkas sang tuan sambut balik : karena anak panahku telah menusuk hatimu, maka aku akan meminangmu menjadi istriku. Mereka menikah kemudian punya anak, nah sang anak ini kemudian dirawat oleh seekor anjing, si Aibobor tadi karena kedua orang tuanya ternyata meninggal oleh banjir. Anak yang dirawat oleh seekor anjing

Cerita berikutnya adalah muasal ditemukannya api, menurut kepercayaan dari masyarakat saifi kabupaten sorong selatan. Sebab musabab mengapa hal ini ditemukan, karena ada seorang pemuda yang bernama Mklyok Sawen sedang berburu kasuari besar, yang dengan lihainya mampu selalu terhindar dari buruan Mklyok. Selama berburu, ada seekor anjing yang menemani Mklyok bernama komang. Pada suatu titik perburuan kasuari yang melelahkan, sembari mendengar angina berhembus timbul ide, selayaknya ilham besar dating padanya, aha !, terbersit dalah hatinya jika angina berhembus begitu kencang dan menimbulkan gesekan pada kayu, yang jika ada suatu benda digosok dengan benda lain akan timbul panas sampai timbul percikan api. Aha ! mklyok menemukan caranya dengan imajinasinya yang luar biasa. Dari cerita inilah asal muasal api yang ditemukan caranya oleh Mkyok Sawen.

Nenek bernama Sarbukun yang hidup seorang diri mengalami kejadian nan magis, dimana saat memakan tebu dan tergores bibirnya hingga meneteskan darah, dari darah itu menjadi dua orang anak laki – laki yang diberi nama Mes (dara) dan Asam (tebu). Kedua anak yang dirawat penuh kasih saying, besar dengan sehat, kuat berburu, cerdas dan menemani sang Ibu (nenek sarkubun) hingga sang nenek berusia lanjut dan pada saat mendekati waktu kematian sang nenek berpesan agar mereka merelakan sang nenek dengan cara tertentu disetiap sudut rumah diletakkan anggota tubuh sang nenek yang secara ajaib menjelma menjadi manusia dan kemudian dinamakan dengan marga Faam Yee, Mamao dan Sasior yang menempati seluruh pelosof tanah Aifat bagian timur, tepatnya di sebelat timur Sungai Kamundah di lembah kaki gunung fomair.

Air Danau atau Aya dan Maru yang kemudian digabung menjadi ayamaru adalah kisah selanjutnya tentang seseorang bernama orain yang berburu di daerah Mrie Ase sampai ke Hnasle, yang dalam perburuannya anjing pendamping orain terkejut pada seekor narah atau tikus tanah hitam yang di gong-gongnya terus selama perburuan, sampai akhirnya sang anjing menggali tanah dimana suara narah berada, ternyata yang keluar malah air yang semakin deras sampai akhirnya menjadi Danau Ayamaru.

Berhati – hatilah dalam bertindak, sebab adakalanya hidup membawa keberuntungan da nada kalanya sebaliknya, kesialan yang didapat terutama jika kita tidak berhati – hati. Pesan itu bisa kita dapatkan dari cerita tentang terjadinya kali keyen dimana pada jaman dulu, orang yang tinggal di dataran tinggi sebelah utara kampong keyen kesulitan akan air. Tetapi kemudian ada seseorang dari mereka menemukan tetesan – tetesan air di balik sebuah batu. Kisah penemuan air ini disimpan mati oleh orang ini, sampai akhirnya kawannya curiga padanya, dan dia memberi tahu akhirnya. Yang terjadi kemudian adalah sang kawan lupa meletakan kembali batu pada sumber air tersebut yang mengakibatkan banjir dan aliran banjir itu diikuti oleh mereka berdua untuk memastikan sejauh mana air meluap, dan akhirnya luapan itu membentu sungai yang dinamakan menjadi menjadi sungai keyen yang berarti “Kita Jalan”

Tersisa cukup banyak kisah lainnya seperti cerita tentang terjadinya pohon sagu, asal usul marga simat, Namle si manusia ajaib, terjadinya kampung wersar dan 7 kisah menarik lainnya yang saying jika dilewatkan buat kamu yang ingin mengetahui lebih jauh tentang Sorong selatan pada khususnya, Sorong dan Papua pada umumnya.

Buku ini menarik karena harus diakui, tidak banyak buku cerita rakyat daerah Papua yang beredar di pasaran sehingga dapat kita beli dan baca dengan mudah. Bahkan jika berburu ke perpustakaan daerah juga tidak banyak yang bisa kita dapatkan untuk dibaca (kebetulan saya mencarinya di perpustakaan daerah Surabaya, bukan di Papua). Huruf-huruf yang cukup besar yang dipilih untuk menuliskan kisah ini juga membuat mata terasa nyaman. Dan karena rata – rata kisahnya tidak berpanjang – panjang dalam detil dan kata, tidak membutuhkan waktu lama untuk membaca habis kisah satu buku ini.

Tetapi rasanya juga ada beberapa hal yang perlu ditambahkan oleh buku ini agar bisa lebih menarik. Beberapa kisahnya sangat pendek, sehingga rasanya kurang jelas, mungkin juga hal ini terkait metodologi pengumpulan data yang bisa jadi kesulitan menggali bahan cerita. Jika membandingkan dengan tulisan cerita rakyat yang dikuratori oleh Arnold Ap, yang dapat dibaca disini 2  terlihat bahwa satu cerita bisa detil dan cukup panjang sehingga yang membacanya dapat mengikuti alur ceritanya dengan baik, selain ada dua cerita yang juga terdapat di buku ini dan buku cerita rakyat terbitan tahun 1982 Arnold Ap dkk, Mamle dan Cerita tentang sungai seremuk. Selain itu, jika ditambah peta kecil daerah pada setiap cerita akan juga menambah detil kecil yang memikat, sehingga orang yang baru membacanya mempunyai gambaran dimana letak cerita – cerita ini. Satu hal yang penting tetapi terlewatkan menurut saya juga kisah tentang Sorong Selatan, semacam pengantar singkat lokasi sorsel, letak geografis, keadaan demografi serta apa yang menarik dan menjadi ciri khas daerah tersebut sehingga prolog ini menjadi pengantar para penikmat buku bacaan untuk mempersiapkan diri membacanya. Tidak lupa para tetua adat dan kepala kampung perlu mendapatkan penghargaan untuk dimasukan dalam buku ini, sebab cerita – cerita ini dituturkan oleh mereka yang sayangnya belum ada dalam buku ini. Walaupun demikian, ada beberapa kekurangan dari pemikiran saya, tidak membuat buku ini kehilangan pesonanya untuk dibaca karena buku ini menjadi catatan dokumentasi penting yang merekam cerita – cerita dari Sorong selatan, dan saya berharap anak – anak yang membacanya di Sorong Selatan akan berkata “ah ini kitong pu kampung pu cerita, menarik, wow sa jadi suka membaca, karena buku – bukunya membuat sa dekat dengan alam sekitar dimana sa tinggal”, menyitir Ocampo, membaca harusnya menjadi sebuah pengalaman yang menyenangkan.

Selamat membaca.

Eh, mau beli bukunya bisa coba kemari ya http://bit.ly/2osYwiV :)

(end)

Caki :

  1. https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Sorong_Selatan
  2. Buku cerita rakyat Irian Jaya terbitan 1982 dapat didownload di https://www.academia.edu/14955391/Cerita_Rakyat_Irian_Jaya_1982

 

 

When Andrew Refuses to Back Down

When Andrew Refuses to Back Down

We're All Stories, In the End

Andrew Budikusuma (24 y.o.) will probably never expected to get punch in the face and got 5 five days to recover the injuries. But Andrew is very aware that the attack that he experienced in TransJakarta is clearly not ordinary criminal acts. He strongly remembers that the attacker said, “Which do you prefer? Slanty eyes or closed eyes?” and “Ahok, Ahok, you’re Ahok, right?”

In other words, Andrew got verbal discrimination and physical abuse at the same time – which is suspected strongly linked to his ethnicity. Andrew then write a chronological experience and show his broken lips on his Facebook page. Shortly after, it went viral in all social media and Andrew decided to report the incident to the police. Andrew undaunted despite his parents advised him not to report. He refuses to back down1 September, the police arrest five suspects and the process is still…

View original post 893 more words

Pada akhirnya semua kembali kepada kerja keras

Nowela Elisabeth Auparay, atau lebih dikenal dengan Nowela Idol merupakan satu dari sedikit perempuan Papua yang mendapat panggung di dunia musik dan entertainment di Indonesia.

Pada bulan April 2016 lalu, saya berkesempatan bertemu dan sekaligus mewawancarai Nowela yang juga biasa dipanggil Lia, di Jakarta, seputar kegiatan dan kesibukannya sebagai penyanyi dan pandangannya terhadap hal yang menarik hatinya di Papua , yaitu Pendidikan.

Kami janjian di wisma keiai, di bilangan Sudirman, sebelah gedung Muamalat. Tepat persis di depan halte busway dukuh atas yang menjadi titik sambung berbagai tujuan bagi pengguna busway. Saya mengambil bis mayasari bakti cikarang blok m, syukur jalanan lengang siang itu, hingga tak berapa lama kemudian tertidur sejenak sudah sampai saja di komdak, turun di halte depan Polri segera saya sambung naik busway. Cepat saja sudah sampai di halte dukuh atas.

Pertemuan ini mau membicarakan kemungkinan kerjasama kami dalam bidang literasi, tetapi sekaligus saya penasaran sekali bagaimana perjalanan dirinya bisa sampai seperti sekarang yang sayang dilewatkan.

Bertemu dengan Nowela, saya ditemani oleh Lisa Duwiry, tak berapa lama kami naik ke kantor Universal, datang Nowela “halo kak lisa, apakabar” oh Lia, ini kak Dayu. lalu sayapun berkenalan singkat. Obrolan menjadi hangat karena kami sama – sama lahir besar di Papua, jadi begitu sudah kata orang Papua, yang artinya ada banyak cerita tentang pengalaman masa kecil, keseruan yang kami ceritakan. Ah sedap.

Obrolan – obrolan itu mendekatkan kami sehingga akhirnya setelah selesai meeting dengan pihak Universal, sa bilang “Lia, kak wawancara lia ya tentang pengalmaan Lia dan mengapa sa lihat suka sekali dengan volunterisme. Ia pun menyetujuinya sehingga kami ambil tempat di cafe kecil di ruang meeting, duduk bersebelahan, kasih keluar recorder dan mulailah pertanyaan demi pertanyaan mengalir.

Sa panggil Lia ya, lahir besar dimana Lia ?

Lahir di Wamena dan sekolah di sana sampai kelas 4 SD, karena setelah itu Bapak mendapat beasiswa kuliah di S1 Teologia di UKSW Salatiga, membuat kami sekeluarga pindah dan saya melanjutkan sekolah dari SD sampai SMP di Salatiga.

Setelah Bapak lulus kuliah, beliau mendapat penugasan di Merauke sehingga kami sekeluarga pindah ke sana. Saat di Merauke itulah, ada sebuah program dari Departemen Pendidikan yang akan menseleksi siswa-siswi terbaik untuk di sekolahkan di SMA di berbagai kota di Jawa, dan saya terpilih mewakili Merauke masuk dalam 72 siswa – siswi terbaik yang berprestasi di SMP asal Papua.

Kota studi saya di Sidoarjo, saya masuk SMA Negeri 1 Sidoarjo, dan di sana saya hidup sendiri. Rasanya saat hidup sendiri inilah yang membuat karakter saya terbangun, harus bisa berjuang, harus mandiri. Selepas SMA saya memutuskan kuliah di Universitas Airlangga, di Surabaya dengan jurusan Hubungan Internasional, walau awalnya orang tua ingin saya ambil jurusan kedokteran.

Dari dapat beasiswa untuk sekolah lalu berlabuh suka musik dan menjadi penyanyi, sejak kapan Lia menyukai hal tersebut ?

Menurut cerita Mama, saat saya masih kecil (mungkin belum sekolah di Taman Kanak – kanak), kalau ada paduan suara gereja, sa sudah ikut tampil. Karena belum bisa bicara, saya ikut dan tersenyum saja, yang penting ikut dan tampil. Dari sini bermula, lalu mulai aktif menyanyi di gereja, terus punya vokal grup dengan adik – adik.

Saya ingat waktu kecil kalau diajak mama : Lia nanti pas Natal, ko menyanyi ya ? lalu sa bilang oke. Paskah menyanyi ya ? oke. Ini menyanyi, itu menyanyi, dan sa selalu bilang oke dan oke. Akhirnya terbiasa dan saya tidak pernah takut jika disuruh tampil.

Di Wamena sa pernah menjadi penyiar cilik di RRI. Ada sebuah program lalu kita penyiarnya yang bercerita membawakan acara itu, “habis ini ada lagu ini selanjutnya atau kita baca puisi. Karena saya anak yang suka tampil, jadi disuruh apa saja saya mau. Mama bilang : Lia, kalau ko di Radio nanti semua orang dengar ko punya suara. Sa langsung jawab Oh iya – iya sa mau. Begitu. Jadi memang suka tampil, “Lia nanti ko ikut drama ini e nanti ko jadi malaikat, iya – iya mau”.

Puncak dari keputusan untuk jadi penyanyi itu waktu masih kuliah di surabaya. Saat saya lulus SMA orang tua maunya saya memilih fakultas kedokteran tapi saya tidak mau sebab tidak suka.

Ini salah satu kesalahan yang akhirnya saya dan orang tua akui (harus mengikuti dan memahami bakat dan potensi anak). Karena sejak awal sekolah saya sudah bermain musik dengan punya band, jadi kalau kuliah di Jakarta saya tidak bisa bertemu lagi teman – teman band ini. Memilih kuliah di surabaya agar tetap bisa bertemu teman – teman Band dan bermain musik.

Akhirnya pilihan jatuh dengan ambil HI, walau tidak terlalu suka. Masuk kuliah dan mempelajarinya semakin tidak suka akhirnya jadi tambah malas kuliah, karena memang visi awal mau kuliah di surabaya supaya bisa menyanyi, bukan kuliah.

Jadi ini kesalahan (dalam bidang studi) kecuali saya kuliah lanjutnya adalah musik juga yang saya suka.Tapi karena ini mengikuti keinginan orang tua jadi ya sudah. Memang akhirnya sa putuskan untuk stop, apalagi sudah sejak semester 3 sudah sibuk menyanyi dan puncaknya semester 5 saya DO.

Karena salah satu sudah dihentikan maka saya harus fokus pada menyanyi. Putus sekolah ini memang berat sekali dan itu kekecewaannya ada di keluarga besar. Orang tua hampir dua tahun tidak mau berbicara dengan saya, bahkan mungkin dianggap sudah bukan anak lagi karena saya putus kuliah dan mengecewakan mereka hanya untuk menyanyi dan bermain musik.

Keputusan yang berat sampai Lia membuat orang tua sedih dan tentu tidak mudah menghadapinya. Kenapa ingin sekali berkarir sebagai penyanyi, memilih jalan hidup sebagai penyanyi ?

Kenapa ya..hmm, sa rasa “Ada satu moment dalam hidup dimana saya merasa tempat saya terbaik itu ada diatas panggung, dibawah lampu sorot”. Sampai jika ditanya Nowela sepuluh tahun lagi ko akan jadi apa, sa akan tetap bilang seperti diatas.

Karena saya sangat yakin bahwa tempat saya itu dipanggung. Akhirnya waktu juga yang membuat cerita dengan keluarga berlanjut menjadi lebih baik, dua tahun berjalan tapi setelah itu kami berkomunikasi kembali. Selepas dua tahun masa diam – diam, saya akhirnya sudah punya penghasilan dari menyanyi dan sudah lumayan saat 2010.

Awal menyanyi dimulai dari cafe ke cafe di surabaya, tapi karena saya ingin meningkatkan diri terus, makanya saya dan band membuat Long Trip ke berbagai kota di Indonesia, berkeliling menyanyi dari cafe ke cafe. Dua bulan tampil di bali, dua bulan di Menado, dua bulan di Medan, berkeliling terus. Karena saya suka travelling dan suka menyanyi jadi ini seperti hobby yang dibayar.

Memang saya bekerja dengan hobby yang dibayar ini sudah sejak lama, sebelum Idol saya sudah menyanyi di Cafe selama 7 tahun dengan 6 hari kerja, dan waktu menyanyi 4 Jam sehari. Apalagi cafe buka malam biasanya saya menyanyi dari jam 22.00 sampai dengan jam 02.00 dini hari. Dari rentang waktu itu, ada 25 sampai 30 lagu setiap malam yang harus dinyanyikan. 7 tahun bernyanyi, 6 hari kerja, 4-5 jam sehari dengan menyanyi puluhan lagu malam sampai dini hari.

Pengalaman belajar dan menyanyi di cafe membuat saya memutuskan tidak mau selamanya berkarir di Cafe, jadi saya harus meningkatkan diri. Apalagi ritme kerja tersebut membuat saya pernah insomnia parah. Jadi keinginan untuk meningkatkan diri, bisa hidup normal berdasar jam biologis tubuh juga mendorong saya untuk mencoba hal baru dan belajar terus.

Sebenarnya kalau dibilang cukup, saat itu sudah cukup dari sisi penghasilan sudah lumayan tapi sa pikir mau sampai kapan begini terus dan juga saya percaya bahwa memang sa ada bakat yang sa yakini. Karena harus naik kelas, maka saya mencoba ikut kompetisi, salah satunya Indonesia Idol.

Saudara – saudara saya mendorong agar ikut kompetisi, salah satu yang paling vokal itu Vanessa Aronggear. Mereka berperan penting karena ikut memaksa hahaha, sa ingat dorang bilang : “Ka lia, kalau ka lia tidak mau ikut idol, kita yang akan ambil formulir dan mendaftarkan”. Karena mereka yakin kalau suara saya bagus dan mengapa tidak coba ikut audisi.

Sebenarnya, dulu saya sudah pernah ikut idol tapi gagal di tahapan seleksi awal. Sebelum audisi dengan juri itu ada banyak sekali tahapan yang harus dilewati, kita audisi depan juri lokal, lalu di depan penyelenggara, audisi video dikirim ke produser untuk dilihat dahulu, itu baru ke juri tamu baru nanti ke juri utama.

Saat Idol 1 pada tahun 2004 dan idol 3 itu saya gagal. Jadi kalau orang bilang pertama kalinya ditemukan di purwokerto, karena memang di dua audisi itu tidak pernah terekam wajah saya, sehingga juri tidak tahu.

Sudah gagal dua kali dan terus mencoba? tidak mudah juga rasanya. Apa pengalaman yang mau dibagi saat ikut kompetisi?

Percaya pada diri, ini hal paling penting.

Kompetisi mengajarkan saya bahwa ini bukan soal seberapa bagus kita menyanyi atau seberapa tinggi teknik yang digunakan saat menyanyi tapi seberapa kuat mental untuk jadi juara. Ada beragam alasan membuat orang gagal di kompetisi, mulai dari merasa tidak betah, dan ingin pulang ke rumah (karena karantina berbulan – bulan), bermasalah dengan pacar, atau juga sakit yang membuat ingin pulang atau dirawat.

Jadi masalah non teknis sifatnya atau diluar menyanyi. Mental pemenang penting sekali, dan selalu fokus pada tujuan.

Karena kalau hanya soal suara, wah banyak sekali yang bagus. Saat audisi kami pasti sibuk dengan kegiatan dan kami tidur 3-4 jam setiap hari. Dan karena karantina 4 bulan. Di isi dengan berbagai latihan, mulai latihan band, vocal, latihan bersama, koreografi dan yang lainnya bahkan bisa sampai dini hari latihan berlangsung dan besok pagi kita sudah harus berkegiatan lagi.

Apalagi saat sudah masuk 10 besar, kita akan workshop satu demi satu maksudnya sehabis latihan, vocal director akan mencatat kekurangan kita apa saja dan setelah itu kita akan diberi feed back, setelah itu harus latihan bersama kontestan lain belum lagi harus selalu siap tampil di depan media. Jadi kekuatan fokus sangat penting.

Lalu apa yang menjadi kekuatan Lia menurut para juri kompetisi itu?

Kalau menurut mereka ada di karakter diri yang kuat. Puji Tuhan. Mereka bilang saya seperti paket lengkap : Punya suara dan sikap yang bagus, dan wajah menarik. Sa ingat saat kompetisi saya berusaha fokus, tenang pada tujuan dan dengan itu saya bisa rileks. Sehingga saat kompetisi dan seleksi ada saja peserta lain yang penasaran dengan suara dan performance saya karena saat itu saya memilih lebih banyak diam, tenang dan berusaha fokus pada tujuan terutama tampil baik dihadapan para juri.

Kata juri lagi, kalau dari segi suara karakternya kuat sebab jika saya bersuara atau menyanyi, orang yang tidak melihat penyanyinya pasti tahu itu suara saya, selain saat itu tidak ada kontestan perempuan Papua yang bertahan sampai 15 besar. Jadi waktu itu saya sangat unik ada kombinasi Papua dan Batak.

Bagaimana respon orang tua setelah mengetahui Lia mengikuti Idol?

Saat saya masuk TV baru orang tua tahu dan sa beri tahu saat itu karena butuh kartu keluarga. Kenapa baru kasih tahu juga dengan pertimbangan dulu (berhenti kuliah) sudah mengecewakan keluarga sehingga harapannya jangan mengecewakan kedua kali. Jadi mereka tahu saat saya sudah masuk babak 100 besar. Jadinya seperti moment pembuktian dan pembukaan mata “oh ternyata sa punya anak ini bisa menyanyi sebaik ini”.

Setelah masuk 100 besar dan diliput TV baru kasih tahu orang tua ya. Banyak sekali saingan Lia ya, memangnya berapa banyak yang daftar kompetisi itu?

Saat itu yang daftar kurang lebih 250 ribu orang, dan faktanya mungkin lebih. Masuk ke kompetisi ini jadi tempat pembuktian buat pilihan hidup saya. Kemenangan itu membawa pesan pelajaran bagi kami, saya dan orang tua bahwa “Kita sebagai orang tua, harusnya yang kita lakukan adalah mensupport kemauan sang anak, bukan memaksa keinginan kita ke anak” ini ucapan orang tua saya saat juga diliput media, jadi anak dan orang tua harus saling dukung.

Coba bayangkan saja, jika anaknya tahan banting dan bisa menemukan jalan hidupnya, maka ini akan berujung baik. Tapi kalau sang anak tidak mampu tahan banting, wah bisa selesai itu, hubungan hubungan keduanya akan hancur.

Kalau diingat masa dua tahun saya tidak berhubungan dengan keluarga karena memutuskan menjalani pilihan hidup saya itu, sedih juga. Tapi saya harus setia menyanyi dan menghidupkan impian terus. Sa pernah tidak menyanyi selama sebulan, itu rasanya seperti orang kehilangan arah.

Hmm, apa yang menjadi pelajaran paling penting menurut Nowela setelah mengalami pengalaman memilih menyanyi, memilih ikut kompetisi?

Kalau mau sesuatu itu harus dengan kerja keras, dan itu tidak mudah. “yang orang lihat kan 4 bulan saya di ekspose di media, mereka tidak tahu 7 tahun sebelumnya saya jatuh bangun air mata naik turun seperti apa” sampai akhirnya saya bisa seperti ini.

Jadi menurut saya, dan juga beberapa teman – teman bahwa mengikuti kompetisi itu juga bukan cara instan menjadi penyanyi. Orang yang baru menyanyi sangat jarang ikut kompetisi, biasanya yang sudah banyak pengalaman dan tidak berputus asa yang ikut.

Semuanya sudah berjuang dulu baru ikut kompetisi dan itu yang orang tidak tahu

Orang lihat hanya saat di puncak saja ya, baik baik. Oh iya saya ingat sering melihat postingan jika Lia ke rumah baca atau donasi buku, kenapa peduli pada bidang pendidikan?

Mungkin karena pengalaman juga. Maksudnya awalnya saat saya di wamena dan Bapak sering mendapat tugas di pedalaman.

Misal ke Apalapsili saya pun ikut. Suatu kali Bapak ditugaskan selama sebulan di daerah dan ini membuat saya pindah sekolah selama satu bulan di pedalaman Apalapsili. Saya pun bersekolah disana dan sekolahnya beratap jerami dan laintainya tanah. Dan siswanya digabung di satu kelas, mau dia kelas 1 sampai 6 semua gabung satu kelas.

Saat ke sekolah, saya baru sadar dan sedih, karena saya yang paling lengkap seragam sekolah, tas, sepatu. Teman lainnya tidak. Ingatan ini kuat sekali menempel di kepala saya. Saya lalu membandingkan kondisi sekolah, siswa dan sekali lagi ingatan ini selalu terbawa sampai dengan sekarang.

Saat masih menyanyi di cafe saya sudah mengenal kegiatan peduli seperti Bukuntukpapua melalui Vanesa dan Lisa Duwiry, juga kegiatan lainnya. Dari sini saya mulai berdonasi sedikit demi sedikit. Apa yang sa bisa bantu saya berusaha bantu, karena ingatan dan pengalaman itu membawa kesadaran baru buat saya.

Terimakasih banyak, kami juga merasa terbantu oleh Nowela. Peduli pendidikan dan bantu dengan buku, memangnya apa buku – buku yang nowela suka baca?

Di Salatiga banyak persewaan buku, dengan harga sewa buku 150 Rupiah. Karena dasarnya suka jadi kalau lihat persewaan buku itu seperti lihat mall mewah yang sa mau datang belanja.

Dan orang tua memang sangat fokus ke pendidikan, jadi mendukung selalu. Sa ingat saat libur baru sa dengan adik – adik kita bawa satu kantong plastik besar jalan kaki mungkin sekitar 3-4 kilo ke rumah persewaan buku ini, lalu pulangnya kita bawa kantong besar berisi buku untuk dibaca selama liburan.

Jadi disini awal mula kecintaan terhadap buku mulai dari komik, salah satunya detektif konan. Semakin besar baru mulai menyukai novel. Selama di salatiga suka sekali dengan cerita detektif conan

Mengapa suka sekali dengan cerita detektif?

Karena dia tidak memanjakan kita untuk tahu ceritanya langsung, dia membuat kita berpikir terus. Sembari membaca kita terus berpikir. Ini siapa ya, tokoh mana lagi, yang mencurigakan tadi siapa ya ds.

Jadi rata-rata pada awalnya saya suka membaca komik – komik misteri. Semakin dewasa baru menyukai novel, Mira W misalnya. Agak klasik, sampai sekarang pun kalau ada buku baru saya cari terus karangan Mira W. Saya suka caranya bercerita dengan ending cerita yang kita tidak bisa duga. Gaya berceritanya saya sukai. Film juga menyukai yang misteri.

Adik – adik saya jadi juga suka membaca.

Jadi membaca itu selain menyenangkan juga penting sebab karena baca juga membantu berimajinasi.

Dalam konteks Papua kita tahu ada daerah yang yang masih kesulitan listrik, di daerah terpencil dan bisa jadi buku membuka imajinasi serta pengetahuan tentang banyak hal dan membuat pemikiran menjadi terbuka. Membaca bisa merubah (pandangan) kehidupan. Dengan begitu membaca memuat kita belajar terus.

Baik jadi penting sekali ya, sa jadi ingin bertanya ini Nowela tentu tidak mudah harus bersaing di Jakarta, apa yang yang harus Nowela lakukan?

Mental pejuang, tidak mau puas dengan tingkat kehidupan yang ini saja. Misalnya dengan pencapaian saya ini, saya pun masih punya keinginan untuk lebih baik lagi. Impiannya misalnya bagaimana sebagai penyanyi saya bisa menyanyi di luar negeri bersama band saya sendiri. Selain itu saya punya wadah untuk bisa berkontribusi bagi Papua, jadi ini menjadi target ke depan.

Contohnya membuat sekolah musik di Papua, supaya anak-anak berbakat musik bisa saya bimbing semenjak kecil dan didorong berkembang maju.

Ini dua impian besar saya, mumpung mimpi gratis.

Wah terimakasih sekali sudah mau bercerita ke saya tentang kisah Lia, saya jadi ingat terus pesannya nih: “Jangan pernah berhenti bermimpi, jangan pernah puas, perubahan didapat dengan kerja keras.”

Terimakasih banyak Lia. Sama- sama kak, semoga bermanfaat. (Dayu Rifanto)

Rumba Samibe, Sabtu Minggu bermain dan belajar.

“Saya mau buat, persis seperti yang bapak buat”  ucap Asep kepada saya, beberapa bulan lalu ketika saya mengisi mata kuliah MSDM dan bertemu dengannya. Boleh juga, dalam hati saya sempat membatin, mengapa tidak kata saya yang langsung menimpali, Cibarusah itu sangat luas dan kalau saya perhatikan tidak banyak anak muda membuat ruang baca disini. Mengapa tidak kamu coba ?

Malam itu perkataan saya mungkin menjadi semacam tantangan kepada Asep. Impiannya dari dulu, adalah membuat ruang baca di kampungnya, dan rasanya dari dulu tidak berhasil – berhasil ia membuatnya, entah kenapa. Setelah kami ngobrol selepas kelas, dan saya pun berbagi cerita yang saya alami, sepertinya ia menyimak betul, dan tak berapa lama kemudian saya melihat postingan foto-foto kegiatan dari Rumah Baca yang ia dirikan bersama 2 orang temannya yang lain : Aksa Pranawa dan Rifki.

Beberapa kali saya diundang datang untuk bertemu dan bermain bersama anak – anak di rumba samibe, tapi apa daya, jadwal yang kurang bisa diajak kompromi (gaya bener). Singkat cerita, tiga minggu lalu saya pun berkesempatan datang dan membuat kegiatan sharing knowledge yang bekerjasama dengan rumba samibe ini, dan tentu saja sekalian mewawancarai asep :).

Tidak ada kegagalan komunikasi, yang ada hanya umpan balik.

Ruang atau rumah baca dan belajar ini bernama Samibe atau sabtu minggu belajar dan bermain bersama. Letak ruang belajar ini ada di kampung Limo RT 05/03 desa Cibarusah Jaya kecamatan Cibarusah. Sharing knowledge kemarin melibatkan 7 orang yang hadir, menjadi semakin guyub karena interaksinya menjadi sangat fokus. Kami belajar tentang bagaimana sebuah ide mudah saja ditolak, dengan contoh seorang atasan menolak ide atau gagasan kita bukan karena ide tersebut jelek tetapi kita tidak dapat meyakinkan atasan bahwa kita adalah karyawan hebat. Bagaimana kita harus bisa peka terhadap hal – hal yang tersirat dalam sebuah komunikasi, karena gerak tubuh, gesture merupakan hal yang sangat penting dalam komunikasi selain lisan. Dan kita juga perlu memahami bahwa setiap orang memiliki jalan pemikiran sendiri, kita perlu menghargai setiap pemikiran mereka dan yang terpenting tidak ada yang namanya kegagalan komunikasi, yang ada adalah umpan balik sehingga dengan begitu kita harus bisa menjadi fleksibel dalam berkomunikasi. Seru sekali.

Gambar 2. Peserta sharing berpose membelakangi hamparan sawah indah kampung limo cibarusah, sudah mirip boy band ?

Selain itu, hadirnya kami belajar di ruang belajar samibe ini memantik pertanyaan saya, ingin rasanya mengetahui lebih lanjut mengapa sampai anak – anak muda di kampung ini mendirikan ruang baca ini. Maka, saya mendekati Asep Sunandar, inisiator dari ruang baca ini. Bersama dua teman lainnya mereka mendirikan ruang baca yang berdiri di tanah wakaf kampung limo cibarusah ini.

Boleh cerita tentang latar belakang mengapa mendirikan ruang baca di kampung ini ?

Saya lahir dan besar disalah satu desa yang bernama Cibarusah di kabupaten bekasi menjadi seorang anak yatim diumur 12 tahun, dan sempat memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah karena terbentur biaya. Namun akhirnya semua bisa berjalan lancar.  aktivitas saya sekarang adalah bekerja dan kuliah. Saya bekerja disalah satu perusahaan  di cikarang dan berkuliah di STIE Pelita Bangsa cikarang.

Terus kenapa sambil kuliah dan kerja terpikir untuk tetap mau membuat ruang baca ?

Kampung tempat saya tinggal, dari segi pendidikan bisa dibilang sangat kurang baik.  Banyak teman-teman seumuran saya yang hanya bisa melanjutkan sekolah hanya sampai kejenjang SMP. Dan timbulah permasalahan utama yaitu pengangguran. Itu salah satu penyebab adanya rumah baca Samibe. Selain alasan personal yaitu saya ingin melihat mereka bisa menambah wawasan dengan buku. Karena banyak hal atau bahkan seisi dunia bisa dilihat dari buku, yang kedua adalah karena saya melihat banyak anak-anak menghabiskan waktu setelah pulang sekolah hanya dengan bermain, memang dunia anak dunianya bermain, tapi akan lebih baik jika bisa diimbangi dengan membaca. Jika dari kecil saja sudah mempunyai minat baca yang tinggi pasti ketika tumbuh dewasa mereka tidak akan asing dengan yang namanya membaca.

Apa harapan ke depan dari samibe, ada kegiatan apa yang diimpikan ?

Mei 2016 saya berinisiatif untuk mendirikan rumah baca ini, dibantu oleh kedua teman saya Aksa dan Rifki. Disatu sisi masih banyak kekurangan dirumah baca samibe ini. Yang pertama adalah buku dan kurang luasnya tempat belajar bagi anak-anak. Harapan nya kami bisa mempunyai buku yang layak baca untuk anak-anak khususnya. saya berharap kegiatan kedepan bisa lebih bermanfaaat bagi anak-anak dan anak muda. Dengan pelatihan-pelatihan seperti Bahasa Inggris, belajar komputer dan wirausaha.

Kalau ada yang ingin membantu ruang baca samibe, bagaimana caranya ?

Cara membantu samibe bisa dalam bentuk donasi buku, fasilitas belajar,  atau bahkan membantu dalam segi ilmu artinya bisa menjadai sukarelawan untuk mengisi proses belajar-mengajar.

Soal membantu ini, membuat saya ingat motto diri yaitu berbagi, berbagi dan terus berbagi. Selain itu ada satu kejadian yang merubah pola pikir. Ketika saya mulai merasa jenuh dan bosan dalam aktivitas sehari-hari yang saya anggap sama sekali tidak produktif, apabila saya lebih berbagi untuk masyarakat sepertinya akan menyenangkan sekali. Saya bertemu salah satu dosen yang saya anggap luar biasa. Karena disela kesibukannya dia bisa berbagi dengan masyarakat dalam bentuk ilmu, yaitu buku. Saya berpikir dia saja bisa membangun tanah kelahirannya melalui ilmu dan buku, kenapa saya tidak.

Itu sebabnya, berbagi tidak perlu menunggu, lakukan sekarang. (Dayu Rifanto)

 

Ratusan Guru SD di Merauke Belum Berkualifikasi S1

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Masih banyak guru Sekolah Dasar (SD) di Kabupaten Merauke, Papua yang belum berkualifikasi akademik strata satu (S-1). Hal ini jika merujuk pada Data Pokok Pendidikan (Dapodik) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
 
Berdasarkan data tersebut, guru yang belum S-1 pada jenjang Taman Kanak-kanak (TK) sebanyak 192 orang dan Sekolah Dasar (SD) 983 guru. Kemudian terdapat sembilan guru belum S-1 di Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 164 guru.
 
Selanjutnya, 47 guru di Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebesar 52 orang. Atas kondisi tersebut, Kemendikbud berupaya meningkatkan kualifikasi guru bersama Pemerintah Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. Kedua pihak ini mengklaim untuk terus menguasahakan memberikan bantuan peningkatan kualifikasi kepada sekitar 1000 guru.
 
“Untuk meningkatkan kualifikasi guru di Kabupaten Merauke, Kemendikbud akan memberikan bantuan kepada sekitar 1000 orang guru yang ingin melanjutkan pendidikan ke S-1 di Kabupaten Merauke,” ujar Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Sumarna Surapranata.
 
Untuk melanjutkan pendidikan ke S-1, guru dapat menempuh program Penggalian Pengalaman Kerja dan Hasil Belajar (PPKHB). Hal ini merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 58 tahun 2008, tentang Penyelenggaraan Program Sarjana (S1) Kependidikan Bagi Guru Dalam Jabatan.
 
Pasal lima ayat tujuh menyatakan, perguruan tinggi dapat memberikan pengakuan terhadap pengalaman kerja dan hasil belajar yang pernah diperoleh sebelumnya, baik pada jalur pendidikan formal maupun non formal. Hal ini dimaksudkan sebagai pengurang beban studi yang harus ditempuh.
 
“Dengan program PPKHB, guru yang melanjutkan pendidikan S-1 dapat ditempuh lebih singkat, karena hanya berkewajiban menempuh sekitar 33 persen dari SKS yang semestinya. Program ini juga dapat dilakukan secara tatap muka maupun jarak jauh,” kata pria yang biasa disapa Pranata ini.
 
Untuk guru di Kabupaten Merauke, mereka dapat melanjutkan pendidikan S-1 ke dalam empat kelompok. Empat kelompok itu, yakni Universitas Cenderawasih, Universitas Terbuka, Universitas Musamus, dan Kelompok Kerja yang programnya dilaksanakan di Merauke dengan mekanisme PPKHB.
 
“Guru yang melanjutkan studi S-1 wajib mendapatkan izin dari kepala dinas pendidikan setempat dan tidak diperkenankan meninggalkan tugas,” tegasnya.
 

Upaya Peningkatan Kualitas Pendidikan, Kemendikbud Bantu 1000 Guru di Papua

 

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) terus berupaya meningkatkan kualitas pendidikan di Provinsi Papua. Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud Sumarna Surapranata mengatakan pihaknya bersama Pemerintah Kabupaten Merauke akan memberikan bantuan peningkatan kualifikasi kepada sekitar 1.000 guru.

“Untuk meningkatkan kualifikasi guru di Kabupaten Merauke, Kemendikbud akan memberikan bantuan kepada sekitar 1.000 orang guru yang ingin melanjutkan pendidikan ke S-1 di Kabupaten Merauke,” ujar Sumarna melalui keterangan tertulisnya, Kamis (21/07/2016).

Sumarna menjelaskan, untuk melanjutkan pendidikan ke S-1, guru dapat menempuh program Penggalian Pengalaman Kerja dan Hasil Belajar (PPKHB).

Ini merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 58 tahun 2008, tentang Penyelenggaraan Program Sarjana (S1) Kependidikan Bagi Guru Dalam Jabatan.

Dalam Pasal 5 ayat 7 dinyatakan bahwa, perguruan tinggi dapat memberikan pengakuan terhadap pengalaman kerja dan hasil belajar yang pernah diperoleh sebelumnya, baik pada jalur pendidikan formal maupun non formal.

Hal tersebut dimaksudkan sebagai pengurang beban studi yang harus ditempuh. “Dengan program PPKHB, guru yang melanjutkan pendidikan S-1 dapat ditempuh lebih singkat, karena hanya berkewajiban menempuh sekitar 33 persen dari SKS yang semestinya. Program ini juga dapat dilakukan secara tatap muka maupun jarak jauh,” kata Sumarna.

Dia menambahkan, guru di Kabupaten Merauke dapat melanjutkan pendidikan S-1 ke dalam empat kelompok, yakni Universitas Cenderawasih, Universitas Terbuka, Universitas Musamus, dan Kelompok Kerja yang programnya dilaksanakan di Merauke dengan mekanisme PPKHB.

“Guru yang melanjutkan studi S-1 wajib mendapatkan izin dari kepala dinas pendidikan setempat, dan tidak diperkenankan meninggalkan tugas,” ungkapnya.

Merujuk pada Data Pokok Pendidikan (Dapodik), kualifikasi guru di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua, yang belum Strata 1 (S-1) pada jenjang Taman Kanak-kanak (TK) sebanyak 192 guru, Sekolah Dasar 983 guru, Sekolah Luar Biasa (SLB) 9 guru, Sekolah Menengah Pertama (SMP) 164 guru, Sekolah Menengah Atas (SMA) 47 guru, dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 52 guru.

http://nationalgeographic.co.id/berita/2016/07/upaya-peningkatan-kualitas-pendidikan-kemendikbud-bantu-1000-guru-di-papua

Sebanyak 25 persen PTS di Papua dan Papua Barat kekurangan dosen

Sebanyak 25 persen PTS di Papua dan Papua Barat kekurangan dosen

Rimanews – Koordinator Kopertis XIV Papua dan Papua Barat Festus Simbiak mengatakan sejumlah Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di wilayahnya kekurangan tenaga pengajar.

“Sebanyak 25 persen PTS di Papua dan Papua Barat kekurangan dosen. Kami mengalami kesulitan mencari tenaga dosen,” ujar Festus dalam rapat koordinasi Kopertis XIV di Waisai, Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat, Sabtu (16/07/2016).

Jumlah PTS di Papua dan Papua Barat sebanyak 60 perguruan tinggi. Kesulitan tersebut juga dikarenakan calon dosen masih melihat perguruan tinggi di Papua dan Papua Barat belum bisa memberikan kehidupan yang layak.

“Rata-rata calon dosen masih melihat perguruan tinggi di Jawa yang bisa memberikan kehidupan yang layak,” ujarnya.

Dosen-dosen yang ada di Papua dan Papua Barat pun masih banyak yang masih bergelar sarjana. Padahal, idealnya untuk menjadi dosen berdasarkan UU Guru dan Dosen, pendidikan untuk menjadi dosen adalah pascasarjana.

“Ini menjadi masalah lagi karena kalau disekolahkan dosen yang ada maka kekurangan kami bertambah,” kata dia.

Permasalahan lainnya dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi di Papua dan Papua Barat yakni sosial ekonomi dan kualitas calon mahasiswa.

Bahkan untuk masuk perguruan tinggi, masih banyak calon mahasiswa yang masih belum lancar baca tulis. Namun pihak perguruan tinggi tak bisa menolaknya, karena akan mematikan semangat anak Papua dan Papua Barat untuk memperoleh pendidikan tinggi.

Untuk itu, dia meminta pemerintah untuk mau menempatkan dosen-dosen di perguruan tinggi di Papua dan Papua Barat.

Direktur Jenderal Kelembagaan Iptek Dikti Kemristekdikti, Patdono Suwignjo, mengatakan pihaknya telah mengaktifkan kembali sebanyak 101 PTS.

Sebelumnya pada September 2015, sebanyak 243 PTS dinonaktifkan karena tidak bisa memenuhi rasio dosen dan mahasiswa adalah satu banding 30 (1:30) untuk mata kuliah eksakta dan satu banding 45 (1:45) untuk sosial.

“Sebanyak 101 PTS yang diaktifkan kembali itu bisa memenuhi rasio dosen dan mahasiswa. Kami juga melakukan pembinaan terhadap PTS itu. Sedangkan sisanya masih dalam proses audit,” kata Patdono.

Jika nanti dari hasil audit, ada keinginan dari perguruan tinggi untuk menyekolahkan dosen dan menambah dosen baru, maka pihak Kemristekdikti akan mempertimbangkan untuk mengaktifkan kembali.

“Tapi jika tidak, kami akan tutup perguruan tinggi itu,” tukas Patdono.

Meskipun demikian, Patdono menyebut bahwa untuk PTS di Papua dan Papua Barat ada pengecualian. Untuk itu, ada afirmasi pendidikan tinggi di daerah itu.

Afirmasi pendidikan tinggi di Papua dan Papua Barat meliputi pendirian perguruan tinggi, afirmasi dosen, afirmasi pendanaan, dan rekrutmen mahasiswa.

http://rimanews.com/…/2016…/292625/PTS-di-Papua-Langka-Dosen

Dana CSR untuk Pendidikan di Papua

 Selasa, 19 Juli 2016, 18:00 WIB | Republika.co.id

Pemerintah akan menggandeng sejumlah BUMN dan kalangan swasta untuk melakukan percepatan pendidikan di Papua. Sejauh ini, program percepatan masih terkendala tiga masalah utama, yakni akses, mutu dan relevansi, serta tata kelola.

Dalam rapat koordinasi perencanaan pendidikan Papua di Kemenko Polhukam, Jakarta, pekan lalu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan memaparkan beberapa strategi kebijakan percepatan pendidikan di provinsi tersebut. Strategi kebijakan percepatan itu, antara lain, dengan meneruskan pembangunan sekolah baru berpola asrama, Program Indonesia Pintar, serta Sekolah Garis Depan.

“Kalau menyangkut akses, langkah yang akan dilakukan, yaitu meneruskan program sekolah berasrama, menyiapkan ruang kelas baru, dan perbaikan ruang kelas yang rusak,” kata Anies.

Sementara untuk meningkatkan mutu dan relevansi, Kemendikbud telah menyiapkan program guru garis depan, sarjana mengajar di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T), pendidikan vokasi, pertukaran kepala sekolah, serta kualifikasi strata satu (S1) dan S2.

Sedangkan untuk memastikan keefektifan dan transparansi tata kelola sumber daya, Kemendikbud telah menyusun data neraca pendidikan Provinsi Papua, membentuk desk Papua dan Papua Barat, mengintegrasikan program antara dana Kemendikbud dan dana otonomi khusus, serta melakukan konsolidasi seluruh kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) pendidikan di Papua.

Sebagai langkah awal, kata Anies, pihaknya  segera mengumpulkan 52 perusahaan yang memiliki kegiatan CSR pendidikan di provinsi itu. Langkah ini untuk menciptakan sinergi antarkegiatan agar sesuai dengan kebutuhan siswa dan merata di seluruh wilayah Papua.

“Selama ini kan perusahaan jalan sendiri. Sekarang kita coba Kemendikbud yang akan beri komando dan arahan agar sesuai dengan prioritas dan kebutuhan siswa di masing-masing kabupaten di Papua. Jangan sampai perusahaan hanya bergerak di satu daerah, yang lain tidak, dan jangan sampai program yang dikerjakan itu ‘redundant’ (berulang),” papar Anies seperti dikutip Antara.

Ia mengkritisi kecilnya alokasi dana pendidikan di Papua, yakni hanya Rp 100 miliar dari total Rp 11,94 triliun APBD 2015 Provinsi Papua. Dengan angka tersebut, Papua menempati posisi terakhir sebagai provinsi dengan persentase alokasi APBD terendah untuk pendidikan, yakni 0,84 persen, di mana setiap siswa hanya mendapat Rp 165 ribu per tahun.

Kondisi ini, menurut Anies, menjadi penyebab buruknya fasilitas pendidikan di Papua. Dari 3.157 satuan pendidikan dasar hingga menengah, tercatat 7.628 ruang kelas SD rusak dan 2.388 lainnya tidak bisa dipakai. Demikian pula, 2.246 ruang kelas SMP rusak dan 383 lainnya tidak bisa dipakai.

“Rapor merah” kondisi pendidikan di Papua juga bertambah dengan rendahnya angka partisipasi siswa pada 2015 di mana dari 399.437 siswa SD, 43,3 persen tidak hadir; dari 116.034 siswa SMP, 58,7 persen tidak hadir; dari 91.546 siswa SMA/SMK, 64,4 persen tidak hadir.

Bahkan, angka buta huruf (tunaaksara) di  provinsi itu menempati peringkat tertinggi di antara 34 provinsi di Indonesia, yakni 28,61 persen, sangat jauh di atas angka nasional sebesar 3,7 persen.

http://www.republika.co.id/berita/koran/csr-koran/16/07/19/oak6k610-dana-csr-untuk-pendidikan-di-papua

Belajar dari teman – teman relawan di Jambore Relawan Sekolah Raya 2015

 

Merenungkan kembali pertemuan hampir dua minggu lalu, di Bekasi mengingatkan saya pada  banyak kawan baru, keramahan dan makanan kecil yang tak putus – putus dihidangkan. Juga ingatan tentang kalimat lantang ini :

“Ada yang salah dengan pendidikan kita, jika yang berkualitas hanya mereka yang kaya yang bisa mengaksesnya”

 Perkataan itu keluar dari lelaki tinggi besar, yang berpeluh keringat di siang terik. Di belakang tempat ia berdiri bercerita, tergeletak white board putih seolah tabula rasa : ia bisa ditulis apa saja, termasuk berbagai cerita silang sengkarut tentang pendidikan kita.

Pendiri Sekolah Raya itu, bernama Agustian, tetapi biasa dipanggil Om Agustian. Beliau mengenalkan Sekolah Raya sekaligus berbagi tentang Sekolah Raya dan mengapa membuat Jambore Relawan, yang diselenggarakan pada tanggal 28 November 2015 kemarin, kegiatannya sendiri mempertemukan para relawan dari beragam latar belakang dengan irisan utama pendidikan, berkumpul dan berbagi cerita di Bekasi selama dua hari.

Inisiatif kami diundang, bersama puluhan inisiatif, komunitas, organisasi dari berbagai macam kota di Indonesia untuk ikut serta pada kegiatannya. Dan menjadi semakin menggerakkan hati untuk datang karena akan menghadirkan narasumber antara lain Muhammad Farhan (presenter), Ahmad Fuadi (penulis), Fauzan Mukrim (penulis), Stanley Meulen (penulis), Indah Julianti Sibarani (blogger), dan Yosep (jurnalis).1

Seru nih, kata saya dalam hati. Itu sebabnya saya mengajak kawan turut serta, Mischa Maryen namanya. Asal Biak yang sedang kuliah di Yogyakarta, yang adalah termasuk volunteer @bukuntukpapua, inisiatif kami. Mengajak, menjejaringkan menjadi salah satu kegemaran saya, termasuk event jambore relawan ini. Membayangkan bisa belajar dari pembicara, dan peserta  semakin meneguhkan semangat untuk datang dan hadir.

Hadir untuk belajar dan tentu berkenalan, hal ini menjadi penting sebab pendidikan di negeri ini seolah tidak diurus dengan benar,dan harusnya menjadi perhatian semua orang. Saya harus mengamini pernyataan Om Agustian tentang “Desain pendidikan “nasional”, mengakibatkan kesenjangan antara pusat (Jakarta) dan daerah, antara ruang kota dan desa. Hal ini yang mengakibatkan anggapan jamak bahwa, kualitas sumber daya manusia dari pusat/kota adalah lebih baik daripada yang ada di daerah/desa. Desain tersebut belum mampu menjawab tantangan potensi dan permasalahan ke-Indonesia-an ditingkatan lokal, tidak berdasarkan demografi serta topografi yang berbeda-beda di setiap wilayah Indonesia.”2 Dan menurut saya, tidak berhenti hanya desa dan kota saja, tapi antara daerah dengan pusat, juga menjadi masalah. Ingatan saya lalu kembali pada sebuah dialog yang dialami oleh Suryawansaat studi lapangan di salah satu kampung di Papua.

“Ade, ko pu cita-cita apa e? Kalau boleh kaka tahu,” tanya saya sambil kami bersama-sama bermain air dan melempar batu sejauh-jauhnya.

“Bapa, tong pu mimpi itu sekarang ini hanya sekolah saja, tara lebih,” ungkap seorang anak menimpali saya.

Impian setinggi hanya mau sekolah. Ini menjadi problem bagaimana relasi pusat dan daerah membuat adanya otonomi yang ternyata tidak banyak mengubah wajah pendidikan di negeri nan kaya, selayak surga jatuh ke bumi, kata banyak orang tentang Papua.

Itu sebab, sebermula perubahan maka kegiatan menemukan simpul – simpul komunitas, organisasi, berkenalan dengan relawan dari beberapa kota pada jambore ini menjadi penting. Ia membuat kami serasa menemukan oasis di padang gurun nan tandus, menemukan kewarasan setelah lelah menonton beragam gaya pejabat, tingkah polah yang tentu saja bisa kita temukan paling banyak dari TV tentang perwakilan rakyat yang tidak merakyat itu. Saya pikir benar sekali bahwa simpul – simpul komunitas yang berjejaring ini seperti berintegrasi dan menciptakan solidaritas sosial, akan menjadikannya menjadi warga masyarakat mandiri, bermartabat, dan sudah tentu akan kreatif untuk menangani berbagai persoalan termasuk pendidikan yang berada di kawasan mereka.

Kembali lagi ke pembicara menarik, saat sesi bersama Om Farhan, saya ingat tiba – tiba Kak Novita dari #Satujutabuku langsung menyorongkan rengginang, yang katanya buatan sang Ibu. Duh enaknya. Sembari menikmati rengginang nan renyah, saya memperhatikan teman – teman dari berbagai kota antusias belajar, sorot mata nyala penuh semangat : saya terkesan dengan semangat dan inspirasi dari para teman baru berbagai kota.

Saya mendengar banyak cerita, saya mencatat banyak kesan, saya berkenalan dengan banyak teman. Walaupun sempat tepar di malam sebelumnya karena agak masuk angin, tidak menghalangi perasaan senang bisa bertemu dan belajar bersama teman – teman baru. Ingin rasanya tetap berkesempatan bisa berkumpul dan mendengar cerita banyak kawan baru tentang inisiatif yang telah mereka lakukan. Sa(ya) menemukan kegairahan dan semangat teman – teman, dan tampaknya semangat itu membebaskan mereka untuk terus belajar,kapan saja dan  dimana saja. Saya cukup beruntung merasakan bertemu teman – teman dalam Jambore Relawan kemarin, dan tampaknya memang benar, pendidikan itu harusnya membebaskan 4.(untuk terus belajar) !

@dayrifanto (Dayu Rifanto)

Mewakili @bukuntukpapua.

 

  1. http://lampost.co/berita/merekam-jejak-relawan-pendidikan – Lampung Post
  2. Makalah Om Agustian tentang Pendidikan yang dibagikan saat kegiatan.
  3. Pendidikan sebagai strategi kebudayaan, I Ngurah Suryawan. Buku
  4. Menyitir pendapat Paulo Freire tentang Pendidikan.

 

 

 

Kepada Bumi : Demianus Nawipa menggalang kepedulian untuk Rumah Baca di Ekadide

561859_530749803608013_1660549304_n

20150723_034656_4159_l

Demianus Nawipa (27 thn), pemuda kelahiran Kopabaida, sebuah kampung yang terletak di bibir sebelah timur danau Wissel atau danau Paniai, di Kabupaten Paniai. Demi, sebutan akrabnya, sedang melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Saat ini dirinya tengah membuat sebuah kampanye penggalangan dana untuk membuat rumah baca di kampung halamannya, Ekadide – Paniai.

Sambil menikmati kacang rebus, teh hangat saya bertemu Demi. Akhir bulan Juni lalu di Jogja, di samping Gedung Graha Sabha UGM menjadi penanda tempat kami bertemu.di sepanjang jalan Kaliurang itu ada beragam warung tenda pinggir jalan, remang – remang sekaligus pas buat duduk – duduk sambil diskusi ringan. Tidak lama kemudian Kris Ajoi datang bergabung di malam penuh bintang di langit itu.

“sa mau buat rumah baca ini di Paniai. Tentu Dayu su ada gambaran tentang Paniai”, ujar Demi malam itu . Singkat kata, Demi mencoba mengkampanyekan inisiatifnya ini menggunakan media crowdfunding atau media patungan online bernama Kitabisa.com – perlu diketahui juga bahwa belum banyak inisiatif sosial di Papua, atau bertema Papua yang mencoba menggunakan model kampanye dan donasi patungan ini untuk sebuah inisiatif.

Apa menariknya, kampanye yang dilakukannya menggunakan situs jejaring crowdfunding Kitabisa.com. Apa yang membuat Demi ingin mendirikan rumah baca di kampungnya, apa saja kendala dan keberhasilan yang telah ia dapatkan dari penggalangan atas inisiatif ini ? simak wawancara saya dengan Demi Nawipa.

Halo Demi, semoga kabarnya baik selalu. Bolehkah cerita tentang latar belakang Demi ?

Bapak saya bernama Thomas Nawipa, beliau adalah penginjil dari gereja KINGMI di distrik Ekadide Paniai dan Ibu bernama Besina Kobepa. Kedua orang tua saya ini telah meninggal. Ibu meninggal saat saya berusia 3 bulan, sedangkan Bapak menyusul 10 tahun kemudian, saat saya menginjak kelas 4 di SD YPPGI Obaipugaida – Ekadide.

Oh, maaf sekali Demi mendengar hal tersebut. Jadi sejak kecil sudah ditinggalkan oleh kedua orang tua dan hidup mandiri ?

Iya, sejak kecil sampai dengan kuliah sekarang ini saya hidup mandiri. Berkat tangan Tuhan yang kuat, saya merasa banyak kuasa baik Tuhan menjaga diri saya.
Sedikit cerita tentang nama saya, dulu saya diberi nama oleh orang tua “Demi Nawipa” alias “Demi Maki” yang memiliki arti : demi bumi. Nama sepertinya menjadi doa buat saya, karena sekarang ini saya sedang belajar ilmu bumi atau Geologi di IST AKPRIND Yogyakarta. Walau kemudian ada tambahan menjadi “Demianus Nawipa” yang diberikan oleh guru kelas 1 SD dulu.

Berarti lahir dan sekolah di Ekadide ya ?

Saat SD saya bersekolah di SD YPPGI Obaipugaida – Ekadide, tetapi saat SMP saya bersekolah di Komopa, Agadide. Saat SMP inilah hampir setiap hari saya berjalan kaki 4 jam menuju sekolah, lumayan pagi – pagi jam 4 sudah berangkat dari rumah untuk jalan kaki ke sekolah. Maklum anak kampung. Jalan kaki sama – sama teman lain kelas lainnya. SMA saya teruskan di Nabire, tepatnya di SMA YPPK Adhiluhur.
Dari D3 UNIPA Manokwari jurusan Geologi saya melanjutkan kuliah sekarang ini di IST AKPRIND Yogyakarta. Benar luar biasa di Yogyakarta ini. Karena pendidikan di sini sangat maju, berbeda dengan yang saya alami dulu di kampung.

Apa yang membuat Demi mau bikin rumah baca di kampung ?

Motivasi saya untuk membuka rumah baca yang diberi nama “DemiMaki Library” karena pembacaan atas pengalaman pendidikan yang saya alami selama ini. Juga melihat realitas ketertinggalan pendidikan anak-anak kampung di pedalaman Papua. Contoh jika melihat Yogyakarta ada banyak perpustakaan, banyak sekolah, banyak rumah baca. Mau cari buku gampang.

Saya ingat, saat menyusun tugas akhir (TA) saat kuliah di UNIPA, saya sempatkan pulang ke Paniai. Disana saya sempat ikut mengajar salah satu SMA di Enarotali. Saat itu saya mendapati buku yang digunakan menggunakan kurikulum 2004. Selain ada keterbatasan buku dan kurangnya guru untuk bidang tertentu, dampaknya tentu kepada murid.

Dari pengalaman singkat ini, sa mendapat ada kendala nyata baik dari SD sampai dengan tingkat SMA. Kurangnya buku, apalagi buku bacaan beragam, kurangnya tenaga pengajar. Selain banyak faktor lainnya. Maka yang sa pikir adalah, ya sudah sa coba buat sesuatu untuk membantu adik – adik ini : membuat rumah baca yang bukunya dapat mereka gunakan. Syukurlah ada teman yang bersedia membantu, yaitu Demianus Degei, dia sendiri tinggal di kampung di Paniai.

Ada pandangan tentang pendidikan di Papua ?

Sa pikir cocok jika menerapkan pendidikan berbasis budaya atau dengan konteks lokal, semacam pendidikan berbasis kebudayaan. Ini sa alami dahulu saat SD Kelas 1 saya belajar membaca menggunakan bahasa daerah di kampung, jadi bahasa pengantarnya adalah bahasa Ibu baru bahasa Indonesia. Dulu saya ingat, waktu SD membaca buku Injil Matius dalam bahasa Mee.

Apa saja yang sudah dilakukan untuk mencapai impian membangun rumah baca ini ?

Saya mendapat support antara lain oleh inisiatif Bukuntukpapua, lalu kemudian teman – teman Papua Bercerita turut menyumbangkan buku hasil donasinya ke inisiatif saya ini. Saya bertemu dengan mereka saat kegiatan Kelas Cerdas Bukuntukpapua di Yogyakarta, akhir Juni lalu.

Buku yang telah saya kumpulkan dari hasil donasi kurang lebih sudah ada 5 karton buku. Ada cukup banyak buku – buku tersebut, dengan beragam tema. Lalu muncul masalah baru lagi, yaitu bagaimana cara untuk mengirim buku ini ke kampung di Paniai sana.

Jadi apa yang Demi coba lakukan ?

Itu sebabnya saya sedang jalankan penggalangan dana melalui situs crowdfunding Kitabisa.com
Penggalangan dana ini akan berlangsung selama 60 hari yang dimulai dari 12 Juli sampai dengan 11 September 2015. Dana yang akan terkumpul akan saya gunakan untuk pengiriman buku dan operasional rumah baca tersebut.
Langkah paling mudah untuk dapat mensupport inisiatif ini adalah dengan klik link berikut https://kitabisa.com/demimakilibrary

Penggunaan dana nantinya akan diupdate ke dalam situs ini juga, sehingga yang berdonasi mengerti bahwa dananya digunakan benar untuk mengirim buku.

Baik Demi, semoga banyak yang akan support inisiatif ini. Apa kesan Demi setelah lama tinggal dan studi di Yogyakarta ?

Di Yogyakarta yang maju dari sisi pendidikan ini saya perlu membuka diri untuk menjalin hubungan, kerjasama dan belajar dari teman – teman lain dari berbagai latar belakang. Karena itu akan membuka banyak pintu pengetahuan. Dan investasi pendidikan ini tentu akan berguna untuk membangun pendidikan Papua nantinya. Semoga ini juga dapat menjadi pesan buat teman – teman seperjuangan dari Papua yang sedang menekuni sekolah di Yogyakarta.

Ada pesan buat teman – teman Papua yang sedang kuliah di luar Papua ?

Saya ingat, ada istilah atau petuah bijak dari suku saya yang berbunyi : Dou Gai Ekowai, “Dou (melihat/membaca), Gai (pikir/merenung/diskusi), Ekowai (melakukan/menulis/kerjakan)”. Kalimat bijak ini dapat juga menjadi pesan juga bahwa anak – anak Papua harus sekolah baik, sekolah tinggi di berbagai kota studi, berjejaring, belajar sungguh untuk membangun Papua ke depannya dengan aksi nyata. (Dayu Rifanto)

http://majalahselangkah.com/content/-demianus-nawipa-menggalang-kepedulian-untuk-rumah-baca-di-ekadide